Sabtu, 09 Juni 2012

PEMIKIRAN AL-RAZI TENTANG PRINSIP LIMA KEKAL DAN KENABIAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Al-Razi adalah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam bagian Timur. Rentang kehidupannya berada di posisi kedua di antara al-Kindi (pertama/ 809-873), al-Farabi (ketiga/ 881-961), Ibnu Maskawayh (keempat/ 932-1030), Ibnu Sina (kelima/ 980-1037) dan al-Ghazali (keenam/ 1058-1111). Meskipun dia di Barat lebih dikenal sebagai ahli kedok­teran dengan sebutan Razes karena prestasi unggulannya di bidang kedokteran, akan tetapi karya filsafatnya dapat dikata solid. Bebarapa faktor yang turut memproduknya ada­lah:
1.    Keberadaannya di bagian timur yang menjadi pe nyerap pertama filsafat Yunani melalui injeksi penaklukan Alexander The Great.
2.    Masa hidupnya berada pada awal dan hangatnya semangat pertumbuhan peradaban (keilmuan) Islam atau pada gelombang Hellenisme pertama (750-950)
3.    Dia berguru penting Hunayn bin Ishaq (809-873), seorang Kristen Nestorian dari Hira, penerjemah pertama yang paling terkenal dan guru ilmu kedokteran dan dokter istana
4.    potensi intelektualnya.
Topik tulisan ini bermaksud hanya menyusuri dan menyi­sir khazanah histori filsafat dalam Islam, untuk menemukan sumbangan al-Razi dalam bidang tersebut.
B.      Rumusan masalah
Sementara sejumlah persoalan yang diajukan adalah:
1.      Bagaimana biografi al-Razi?
2.      Bagaimana pemikiran Al-Razi tentang lima yang kekal?
3.      Bagaimana pemikiran Al-Razi tentang kenabian?


BAB II
PEMIKIRAN AL-RAZI TENTANG PRINSIP LIMA KEKAL
DAN KENABIAN

A.     Biografi Al-Razi
Pertama, al-Razi bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya al-Razi. Dia lahir di Rayy, Propinsi Khurasan, dekat Teheran, pada tahun 856 M./ 251 H. dan wafat tahun 925 M./ 313 H. Menjelang wafatnya, ia terkena penyakit buta, tetapi menolak untuk diobati. Sebab, pertimbangan masaknya berkeputusan: bahwa “begitu banyak dunia yang pernah dili­hatnya, ingin melihatnya lagi”.[1]
Kedua, pendidikan yang diperolehnya dari Hunayn bin Ishaq, mengantarkannya menjadi manusia produktif. Bahkan, produktifitasnya melebihi gurunya, terutama di bidang medis, sebagaimana poin-poin penjelasan berikut.
Ketiga, kepribadian al-Razi dilukiskan sebagai seorang yang sangat murah hati, dermawan dan ulet. Oleh karena itu dapat dipahami secara logis apabila, dari dua disiplin utama (kedokteran dan filsafat) yang ditekuninya, rentang kehidupannya lebih banyak terkonsentrasi pada bidang medis yang berkaitan langsung dengan jasa pelayanan sosial, dari­pada bidang filsafat yang bertumpu pada kepentingan elit-intelektual/ budaya.[2]
Keempat, kejeniusan dan repuasinya yang baik di bidang kedokteran, menjadikannya diangkat sebagai direktur rumah sakit di Rayy semasa ia menjelang usia tigapuluh tahun, kemu­dian di Baghdad. Bahkan dia berprestasi sebagai “dokter Islam yang tidak ada bandingannya”. Di sisi lain, dia dije­laskan oleh beberapa ahli telah pandai memainkan harpa pada masa mudanya dan pernah menjadi money changer, sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran. [3]
Sedangkan karirnya di bidang intelektual terbukti pada karya tulisnya yang tidak kurang dari 200 jilid tentang berbagai pengetahuan fisika dan metafisika (medis, astrono­mi, kosmologi, kimia, fisika, dan sebagainya, kecuali mate­matika, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, benar-benar dihindarinya. Dalam bidang medis, al-Razi menulis buku –sebagai karya terbesar-tentang penyakit cacar dan campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya al-Hawi yang lebih terkenal dengan sebutan al-Jami‘, terdiri atas 20 jilid, membahas berbagai cabang ilmu kedokteran, sebagai buku pegangan selama lima abad (abad 13-17) di Eropa dan salah satu dari kesembilan karangan seluruh perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M. Bahkan, al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles.
Kelima, khusus di bidang filsafat, hanya sejumlah kecil karya al-Razi, sekitar 100 buku yang telah ditemukan. Berikut ini disajikan karya-karya tersebut:
1.      Sekumpulan karya logika berkenaan dengan Kategori-Kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan Kalam Islam.
2.      Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya.
3.      Materi Mutlak dan Partikular.
4.      Plenum dan Vacum, ruang dan waktu.
5.      Fisika.
6.      Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana.
7.      Tentang keabadian dan ketidakabadian tubuh.
8.      Sanggahan terhadap Proclus.
9.      Opini fisika: “Plutarch” (Placita Philosophorum).
10.  Sebuah komentar tentang Timaeus.
11.  Sebuah komentar terhadap komentar Plutarch tentang Temaeus.
12.  Sebuah risalah yang menunjukkan bahwa benda-benda ber­gerak dengan sendirinya dan gerakan itu pada hakikatnya adalah milik mereka.
13.  Obat pencahar rohani (Spiritual Physic).
14.  Jalan filosofis.
15.  Tentang Jiwa
16.  Tentang perkataan imam yang tak dapat salah.
17.  Sanggahan terhadap kaum Mu’tazilah.
18.  Metafisika menurut ajaran Plato; dan
19.  Metafisika menurut ajaran Socrates.[4]
Melalui karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis, terutama dalam prinsip “lima ke­kal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga pendukung pan­dangan naturalis kuno.
Selain ulet, ia juga seorang tokoh intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki sebagai tokoh non-kompromis terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. Di antara bukti keberaniannya dituangkan dalam pandangannya tentang “jiwa” dan “kenabian dan agama”.
Keenam, meskipun al-Razi menulis sejumlah karya monu­mental dan memiliki keberanian pemikiran, akan tetapi pamor kreasi kemedisannya lebih mencuat dibanding dengan buah filsafatnya. Oleh karena itu dapat dipahami, apabila dalam seleksi unggulan peta kajian filsafat –baik di panggung global maupun di ring filsafat Islam sendiri–, ia tidak terekrut di dalamnya. Demikian ini didasarkan pada sejauh beberapa referensi yang telah penulis periksa, sebagaimana kajian-kajian Anhari, Collinson dan Wilkinson, al-‘Iraqi, Hashim, Hanafi, dan Aceh. Kecuali kajian-kajian berikut yang memproporsikan al-Razi sesuai dengan kadar pendekatannya.[5]
Kajian Fakhry yang menempatkan al-Razi pada periode awal penulisan filsafat sistematik (abad kesembilan). Kajian Madkouryang memposisikan al-Razi pada sisi kecil tentang teori kenabian yang berdampingan secara aktif dengan bebera­pa tokoh dan mazhab filsafat Yunani dan Islam. Kemudian, kajian Ali yang secara khusus membahas al-Razi –meskipun sangat ringkas- sebagai anggota mazhab filsafat Dunia Islam bagian Timur.[6]


B.     Pemikiran Al-Razi tentang Prinsip Lima Kekal
Perhatian utama filsafat al-Razi adalah jiwa, kemudian lima yang kekal. Setelah itu, moral, kenabian dan agama, yang merupakan sisi pengembangan daya kritik intelektualnya. Prinsip lima yang kekal (five co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al-Khamsah) menurut al-Razi adalah: (1) Sang Pencipta, (2) jiwa universal, (3) materi pertama, (4) ruang absolut, dan (5) waktu absolut.[7]
1.      Allah Ta’ala ( الباري تعالى )
Menurut Ar Razi, Allah adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan bukan dari ketiadaan tetapi dari sesuatu yang sudah ada. Karenanya, alam semestinya tidak kekal sekalipun materi pertama (Allah) kekal, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Di sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari ketiadaan, tentu Allah akan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.
2.      Jiwa universal ( النفس الكلية  )
Pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak tetapi tanpa bentuk. Dalam hal ini, jiwa adalah roh, zat yang halus seperti udara, sehingga sulit untuk diketahui karena ia tanpa bentuk dan rupa.
3.      Materi pertama ( الهيولى الأولى )
Adalah substansi yang kekal terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki volume. Tanpa volume pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom.materi pertama ini sangat erat kaitannya dengan jiwa universal (roh). Roh dikuasai naluri untuk bersatu dengan materi pertama sehingga timbullah suatu bentuk yang dapat menerima fisik. Karena itulah Allah menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia agar bisa ditempati roh.
4.      Tempat/ruang absolut ( المكان المطلق )
Adanya materi kekal maka membutuhkan ruang yang sesuai untuknya. Ruang dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pertama, ruang partikular/relatif, ia terbatas dan terikat dengan wujud yang menempatinya. Kedua, ruang universal/mutlak, ia tidak terikat dengan segala sesuatu yang ada dan tidak terbatas.
5.      Masa absolut ( الزمان المطلق )
Waktu adalah substansi yang mengalir dan bersifat kekal. Ar Razi membaginya menjadi 2 bagian, yaitu pertama, waktu mutlak, ia tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal. Ia terlepas sama sekali dari alam semesta dan gerakan falaq. Kedua, waktu relatif, ia tidak kekal dan terbatas karena terikat dengan gerakan falaq, terbit dan tengelamnya matahari. Ringkasnya, karena ia disifati dengan angka dan dapat diukur.[8]
Berikut ini penulis berusaha menyajikan rajutan-sistematis kelima prinsip di atas:
Dua prinsip pertama (Sang Pencipta dan jiwa universal), dalam sistem al-Razi dikaitkan secara erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi pembenaran penciptaan dunia yang sedemikian mengganggu pikiran para filosof sejak zaman Plato. Jiwa sama-sama kekal dengan Tuhan. Oleh karena jiwa butuh materi (prinsip ketiga), maka Tuhan terpaksa mencipta­kan kesatuan dengan bentuk-bentuk material.[9]
Kemudian, materi memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, yang tidak lain adalah ruang (prinsip keempat). Ruang sebagai konsep yang abstrak, tidak terbatas dan seka­ligus kekal. Demikian ini dalam arti ruang universal/ mutlak. Sedangkan ruang partikular/ tertentu tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi, yang merupakan esensinya yang sejati.
Sementara itu, waktu merupakan semacam gerak. Waktu universal tidak dapat diukur dan tidak terbatas (al-dahr), yang merupakan ukuran perlangsungan dunia akali, yang berbe­da dengan ukuran perlangsungan dunia inderawi, yang disebut oleh Plato sebagai “bayang-bayang keabadian yang bergerak-gerak”. Sedangkan waktu partikular dapat diukur dan terba­tas. Berkat cahaya akal, maka jiwa, yang telah terpikat oleh bentuk-bentuk material dan kesenangan-kesenangan inderawi, pada akhirnya sadar akan kedudukannya yang sejati dan ter­dorong untuk mencari tempat pemukimannya kembali di dunia akali, yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.[10]
Prinsip lima kekal itu merupakan sebuah sistem metafi­sika yang koheren. Sistem ini mencerminkan daya kecerdikan al-Razi, sebagai pembenaran terhadap tesis filosofis bahwa dunia ini diciptakan, dan sekaligus sebagai obat bagi kebin­gungan para filosof.

C.     Pemikiran Al-Razi tentang Kenabian dan Agama
Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya.[11]
Al-Razi tidak percaya kepada para Nabi. Sebab, mereka dipandangnya hanya membawa kehancuran bagi manusia. Kebenar­an wahyu yang didakwahkannya, tidak benar adanya. Oleh karenanya, al-Qur’an dengan uslubnya tidak merupakan mu’ji­zat bagi Muhammad. Ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebih kongkret daripada wahyu. Oleh karena itu, kegiatan membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya lebih berar­ti daripada membaca buku-buku agama.
Selanjutnya, dalam hubungan kenabian dan agama, al-Razi menegaskan bahwa para Nabi tidak berhak mengklaim bahwa mereka memiliki keistimewaan khusus, baik rasional maupun spiritual, karena semua manusia sama. Padahal keadilan dan kemahahakiman Tuhan memastikan untuk menolak memberikan keistimewaan kepada seseorang di atas orang lain.
Sedangkan mukjizat dipandangnya sebagai bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradik­tif, karena satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak sesuai dengan pernyataan bahwa ada realitas permanen. Hal itu dikarenakan setiap Nabi membatalkan risalah pendahulunya, akan tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya adalah kebenaran, bahkan tidak ada kebenaran lain, dan menusia menjadi bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut. Semua agama merupakan sumber peperangan yang menimpa manusia sejak dulu, di samping merupakan musuh filsafat dan ilmu pengetahuan.[12]
Alur pikiran di atas dapat dipahami, bahwa, dalam pandangan al-Razi, agama itu hanya warisan tradisional yang diikuti oleh masyarakat karena tradisi saja. Oleh karena pandangannya yang demikian, maka al-Razi dapat disebut seorang ateis, karena mengkritik semua agama. Tetapi di sisi lain, ia seorang monoteis sejati yang mengaku adanya Tuhan Pencipta, sehingga baginya, nabinya adalah akalnya sendiri.
Kritik terhadap al-Razi, dengan cara yang tajam pernah disampaikan oleh Abu al-Hatim al-Razi (w. 330 H.) –seorang yang sezaman dan senegara dengan al-Razi–dalam kitabnya A’lam al-Nubuwwah. Di dalamnya tidak ditegaskan nama al-Razi, akan tetapi cukup mengarahkan kritiknya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid (sang ateis). Namun ada indikasi pasti yang menunjukkan bahwa sang ateis ini bukan orang lain selain al-Razi. Buku tersebut memuat protes fundamental yang diarahkan oleh al-Razi kepada kenabian dan pengaruhnya secara sosial. Protes-protes ini, secara global, mendekati semua protes yang sebelumnya telah dikobarkan oleh al-Rowan­di. Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada yang sama.[13]
Sebenarnya al-Rowandi –rekan sezaman dengan al-Razi-amat masyhur dan mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia benar-benar berani memperolokkan al-Qur’an dengan meniru-nirukannya dan menertawakan Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh al-Razi. Dalam hemat penu­lis, di antara kemungkinan ketertutupan ini adalah karena al-Rowandi terfokus pada arogansi intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak. Sedangkan al-Razi, di samping karya filsafatnya lebih banyak daripada karya al-Rowandi, juga karena reputasi kepustakaan maupun jasa pelayanan sosialnya di bidang medis. Apalagi karya al-Hawinya telah menembus jaringan prestisius di Eropa selama lima abad.[14]

















BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka beberapa hal yang dapat penulis simpulkan adalah:
1.      Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsa­fat, karena karyanya al-Hawi.
2.      Perhatian utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa.
3.      Konsepsi filsafatnya yang paling menonjol, dan karena-nya menjadi ajaran pokok, adalah prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membe­dakannya dari konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya berte­mu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik.
4.      Sementara konsepnya tentang moral terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara membunuhnya.
5.      Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berin­tikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis.
6.      Keseluruhan konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihat­kan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.





DAFTAR  PUSTAKA

Harun Nasution, (2006),  Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
-----------------, (2008),  Islam Rasional, Jakarta:  Mizan.
Hasyim Syah Nasution, (2005), Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mustofa Ahmad, (2007), Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Sirajudin Zar, (2004), Filsafat Islam. (Filosof Dan Filsafatnya), Padang: Fajar.


 


[2]Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 310.
[3]Ibid.
[4]Mustofa Ahmad, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 131.
[5]Ibid., hal. 132-133.
[6]Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta:  Mizan, 2008), hlm. 49-50.
[8]Ibid.
[9]Sirajudin Zar, Filsafat Islam. (Filosof Dan Filsafatnya), (Padang: Fajar, 2004), hal. 125-126.
[10]Ibid.
[11]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006), hal. 61-63.
[12]Ibid., hal. 65-68.
[14]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar