Sabtu, 09 Juni 2012

PEMIKIRAN AL-RAZI TENTANG PRINSIP LIMA KEKAL DAN KENABIAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Al-Razi adalah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam bagian Timur. Rentang kehidupannya berada di posisi kedua di antara al-Kindi (pertama/ 809-873), al-Farabi (ketiga/ 881-961), Ibnu Maskawayh (keempat/ 932-1030), Ibnu Sina (kelima/ 980-1037) dan al-Ghazali (keenam/ 1058-1111). Meskipun dia di Barat lebih dikenal sebagai ahli kedok­teran dengan sebutan Razes karena prestasi unggulannya di bidang kedokteran, akan tetapi karya filsafatnya dapat dikata solid. Bebarapa faktor yang turut memproduknya ada­lah:
1.    Keberadaannya di bagian timur yang menjadi pe nyerap pertama filsafat Yunani melalui injeksi penaklukan Alexander The Great.
2.    Masa hidupnya berada pada awal dan hangatnya semangat pertumbuhan peradaban (keilmuan) Islam atau pada gelombang Hellenisme pertama (750-950)
3.    Dia berguru penting Hunayn bin Ishaq (809-873), seorang Kristen Nestorian dari Hira, penerjemah pertama yang paling terkenal dan guru ilmu kedokteran dan dokter istana
4.    potensi intelektualnya.
Topik tulisan ini bermaksud hanya menyusuri dan menyi­sir khazanah histori filsafat dalam Islam, untuk menemukan sumbangan al-Razi dalam bidang tersebut.
B.      Rumusan masalah
Sementara sejumlah persoalan yang diajukan adalah:
1.      Bagaimana biografi al-Razi?
2.      Bagaimana pemikiran Al-Razi tentang lima yang kekal?
3.      Bagaimana pemikiran Al-Razi tentang kenabian?


BAB II
PEMIKIRAN AL-RAZI TENTANG PRINSIP LIMA KEKAL
DAN KENABIAN

A.     Biografi Al-Razi
Pertama, al-Razi bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya al-Razi. Dia lahir di Rayy, Propinsi Khurasan, dekat Teheran, pada tahun 856 M./ 251 H. dan wafat tahun 925 M./ 313 H. Menjelang wafatnya, ia terkena penyakit buta, tetapi menolak untuk diobati. Sebab, pertimbangan masaknya berkeputusan: bahwa “begitu banyak dunia yang pernah dili­hatnya, ingin melihatnya lagi”.[1]
Kedua, pendidikan yang diperolehnya dari Hunayn bin Ishaq, mengantarkannya menjadi manusia produktif. Bahkan, produktifitasnya melebihi gurunya, terutama di bidang medis, sebagaimana poin-poin penjelasan berikut.
Ketiga, kepribadian al-Razi dilukiskan sebagai seorang yang sangat murah hati, dermawan dan ulet. Oleh karena itu dapat dipahami secara logis apabila, dari dua disiplin utama (kedokteran dan filsafat) yang ditekuninya, rentang kehidupannya lebih banyak terkonsentrasi pada bidang medis yang berkaitan langsung dengan jasa pelayanan sosial, dari­pada bidang filsafat yang bertumpu pada kepentingan elit-intelektual/ budaya.[2]
Keempat, kejeniusan dan repuasinya yang baik di bidang kedokteran, menjadikannya diangkat sebagai direktur rumah sakit di Rayy semasa ia menjelang usia tigapuluh tahun, kemu­dian di Baghdad. Bahkan dia berprestasi sebagai “dokter Islam yang tidak ada bandingannya”. Di sisi lain, dia dije­laskan oleh beberapa ahli telah pandai memainkan harpa pada masa mudanya dan pernah menjadi money changer, sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran. [3]
Sedangkan karirnya di bidang intelektual terbukti pada karya tulisnya yang tidak kurang dari 200 jilid tentang berbagai pengetahuan fisika dan metafisika (medis, astrono­mi, kosmologi, kimia, fisika, dan sebagainya, kecuali mate­matika, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, benar-benar dihindarinya. Dalam bidang medis, al-Razi menulis buku –sebagai karya terbesar-tentang penyakit cacar dan campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya al-Hawi yang lebih terkenal dengan sebutan al-Jami‘, terdiri atas 20 jilid, membahas berbagai cabang ilmu kedokteran, sebagai buku pegangan selama lima abad (abad 13-17) di Eropa dan salah satu dari kesembilan karangan seluruh perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M. Bahkan, al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles.
Kelima, khusus di bidang filsafat, hanya sejumlah kecil karya al-Razi, sekitar 100 buku yang telah ditemukan. Berikut ini disajikan karya-karya tersebut:
1.      Sekumpulan karya logika berkenaan dengan Kategori-Kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan Kalam Islam.
2.      Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya.
3.      Materi Mutlak dan Partikular.
4.      Plenum dan Vacum, ruang dan waktu.
5.      Fisika.
6.      Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana.
7.      Tentang keabadian dan ketidakabadian tubuh.
8.      Sanggahan terhadap Proclus.
9.      Opini fisika: “Plutarch” (Placita Philosophorum).
10.  Sebuah komentar tentang Timaeus.
11.  Sebuah komentar terhadap komentar Plutarch tentang Temaeus.
12.  Sebuah risalah yang menunjukkan bahwa benda-benda ber­gerak dengan sendirinya dan gerakan itu pada hakikatnya adalah milik mereka.
13.  Obat pencahar rohani (Spiritual Physic).
14.  Jalan filosofis.
15.  Tentang Jiwa
16.  Tentang perkataan imam yang tak dapat salah.
17.  Sanggahan terhadap kaum Mu’tazilah.
18.  Metafisika menurut ajaran Plato; dan
19.  Metafisika menurut ajaran Socrates.[4]
Melalui karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis, terutama dalam prinsip “lima ke­kal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga pendukung pan­dangan naturalis kuno.
Selain ulet, ia juga seorang tokoh intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki sebagai tokoh non-kompromis terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. Di antara bukti keberaniannya dituangkan dalam pandangannya tentang “jiwa” dan “kenabian dan agama”.
Keenam, meskipun al-Razi menulis sejumlah karya monu­mental dan memiliki keberanian pemikiran, akan tetapi pamor kreasi kemedisannya lebih mencuat dibanding dengan buah filsafatnya. Oleh karena itu dapat dipahami, apabila dalam seleksi unggulan peta kajian filsafat –baik di panggung global maupun di ring filsafat Islam sendiri–, ia tidak terekrut di dalamnya. Demikian ini didasarkan pada sejauh beberapa referensi yang telah penulis periksa, sebagaimana kajian-kajian Anhari, Collinson dan Wilkinson, al-‘Iraqi, Hashim, Hanafi, dan Aceh. Kecuali kajian-kajian berikut yang memproporsikan al-Razi sesuai dengan kadar pendekatannya.[5]
Kajian Fakhry yang menempatkan al-Razi pada periode awal penulisan filsafat sistematik (abad kesembilan). Kajian Madkouryang memposisikan al-Razi pada sisi kecil tentang teori kenabian yang berdampingan secara aktif dengan bebera­pa tokoh dan mazhab filsafat Yunani dan Islam. Kemudian, kajian Ali yang secara khusus membahas al-Razi –meskipun sangat ringkas- sebagai anggota mazhab filsafat Dunia Islam bagian Timur.[6]


B.     Pemikiran Al-Razi tentang Prinsip Lima Kekal
Perhatian utama filsafat al-Razi adalah jiwa, kemudian lima yang kekal. Setelah itu, moral, kenabian dan agama, yang merupakan sisi pengembangan daya kritik intelektualnya. Prinsip lima yang kekal (five co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al-Khamsah) menurut al-Razi adalah: (1) Sang Pencipta, (2) jiwa universal, (3) materi pertama, (4) ruang absolut, dan (5) waktu absolut.[7]
1.      Allah Ta’ala ( الباري تعالى )
Menurut Ar Razi, Allah adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan bukan dari ketiadaan tetapi dari sesuatu yang sudah ada. Karenanya, alam semestinya tidak kekal sekalipun materi pertama (Allah) kekal, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Di sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari ketiadaan, tentu Allah akan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.
2.      Jiwa universal ( النفس الكلية  )
Pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak tetapi tanpa bentuk. Dalam hal ini, jiwa adalah roh, zat yang halus seperti udara, sehingga sulit untuk diketahui karena ia tanpa bentuk dan rupa.
3.      Materi pertama ( الهيولى الأولى )
Adalah substansi yang kekal terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki volume. Tanpa volume pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom.materi pertama ini sangat erat kaitannya dengan jiwa universal (roh). Roh dikuasai naluri untuk bersatu dengan materi pertama sehingga timbullah suatu bentuk yang dapat menerima fisik. Karena itulah Allah menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia agar bisa ditempati roh.
4.      Tempat/ruang absolut ( المكان المطلق )
Adanya materi kekal maka membutuhkan ruang yang sesuai untuknya. Ruang dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pertama, ruang partikular/relatif, ia terbatas dan terikat dengan wujud yang menempatinya. Kedua, ruang universal/mutlak, ia tidak terikat dengan segala sesuatu yang ada dan tidak terbatas.
5.      Masa absolut ( الزمان المطلق )
Waktu adalah substansi yang mengalir dan bersifat kekal. Ar Razi membaginya menjadi 2 bagian, yaitu pertama, waktu mutlak, ia tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal. Ia terlepas sama sekali dari alam semesta dan gerakan falaq. Kedua, waktu relatif, ia tidak kekal dan terbatas karena terikat dengan gerakan falaq, terbit dan tengelamnya matahari. Ringkasnya, karena ia disifati dengan angka dan dapat diukur.[8]
Berikut ini penulis berusaha menyajikan rajutan-sistematis kelima prinsip di atas:
Dua prinsip pertama (Sang Pencipta dan jiwa universal), dalam sistem al-Razi dikaitkan secara erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi pembenaran penciptaan dunia yang sedemikian mengganggu pikiran para filosof sejak zaman Plato. Jiwa sama-sama kekal dengan Tuhan. Oleh karena jiwa butuh materi (prinsip ketiga), maka Tuhan terpaksa mencipta­kan kesatuan dengan bentuk-bentuk material.[9]
Kemudian, materi memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, yang tidak lain adalah ruang (prinsip keempat). Ruang sebagai konsep yang abstrak, tidak terbatas dan seka­ligus kekal. Demikian ini dalam arti ruang universal/ mutlak. Sedangkan ruang partikular/ tertentu tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi, yang merupakan esensinya yang sejati.
Sementara itu, waktu merupakan semacam gerak. Waktu universal tidak dapat diukur dan tidak terbatas (al-dahr), yang merupakan ukuran perlangsungan dunia akali, yang berbe­da dengan ukuran perlangsungan dunia inderawi, yang disebut oleh Plato sebagai “bayang-bayang keabadian yang bergerak-gerak”. Sedangkan waktu partikular dapat diukur dan terba­tas. Berkat cahaya akal, maka jiwa, yang telah terpikat oleh bentuk-bentuk material dan kesenangan-kesenangan inderawi, pada akhirnya sadar akan kedudukannya yang sejati dan ter­dorong untuk mencari tempat pemukimannya kembali di dunia akali, yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.[10]
Prinsip lima kekal itu merupakan sebuah sistem metafi­sika yang koheren. Sistem ini mencerminkan daya kecerdikan al-Razi, sebagai pembenaran terhadap tesis filosofis bahwa dunia ini diciptakan, dan sekaligus sebagai obat bagi kebin­gungan para filosof.

C.     Pemikiran Al-Razi tentang Kenabian dan Agama
Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya.[11]
Al-Razi tidak percaya kepada para Nabi. Sebab, mereka dipandangnya hanya membawa kehancuran bagi manusia. Kebenar­an wahyu yang didakwahkannya, tidak benar adanya. Oleh karenanya, al-Qur’an dengan uslubnya tidak merupakan mu’ji­zat bagi Muhammad. Ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebih kongkret daripada wahyu. Oleh karena itu, kegiatan membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya lebih berar­ti daripada membaca buku-buku agama.
Selanjutnya, dalam hubungan kenabian dan agama, al-Razi menegaskan bahwa para Nabi tidak berhak mengklaim bahwa mereka memiliki keistimewaan khusus, baik rasional maupun spiritual, karena semua manusia sama. Padahal keadilan dan kemahahakiman Tuhan memastikan untuk menolak memberikan keistimewaan kepada seseorang di atas orang lain.
Sedangkan mukjizat dipandangnya sebagai bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradik­tif, karena satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak sesuai dengan pernyataan bahwa ada realitas permanen. Hal itu dikarenakan setiap Nabi membatalkan risalah pendahulunya, akan tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya adalah kebenaran, bahkan tidak ada kebenaran lain, dan menusia menjadi bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut. Semua agama merupakan sumber peperangan yang menimpa manusia sejak dulu, di samping merupakan musuh filsafat dan ilmu pengetahuan.[12]
Alur pikiran di atas dapat dipahami, bahwa, dalam pandangan al-Razi, agama itu hanya warisan tradisional yang diikuti oleh masyarakat karena tradisi saja. Oleh karena pandangannya yang demikian, maka al-Razi dapat disebut seorang ateis, karena mengkritik semua agama. Tetapi di sisi lain, ia seorang monoteis sejati yang mengaku adanya Tuhan Pencipta, sehingga baginya, nabinya adalah akalnya sendiri.
Kritik terhadap al-Razi, dengan cara yang tajam pernah disampaikan oleh Abu al-Hatim al-Razi (w. 330 H.) –seorang yang sezaman dan senegara dengan al-Razi–dalam kitabnya A’lam al-Nubuwwah. Di dalamnya tidak ditegaskan nama al-Razi, akan tetapi cukup mengarahkan kritiknya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid (sang ateis). Namun ada indikasi pasti yang menunjukkan bahwa sang ateis ini bukan orang lain selain al-Razi. Buku tersebut memuat protes fundamental yang diarahkan oleh al-Razi kepada kenabian dan pengaruhnya secara sosial. Protes-protes ini, secara global, mendekati semua protes yang sebelumnya telah dikobarkan oleh al-Rowan­di. Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada yang sama.[13]
Sebenarnya al-Rowandi –rekan sezaman dengan al-Razi-amat masyhur dan mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia benar-benar berani memperolokkan al-Qur’an dengan meniru-nirukannya dan menertawakan Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh al-Razi. Dalam hemat penu­lis, di antara kemungkinan ketertutupan ini adalah karena al-Rowandi terfokus pada arogansi intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak. Sedangkan al-Razi, di samping karya filsafatnya lebih banyak daripada karya al-Rowandi, juga karena reputasi kepustakaan maupun jasa pelayanan sosialnya di bidang medis. Apalagi karya al-Hawinya telah menembus jaringan prestisius di Eropa selama lima abad.[14]

















BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka beberapa hal yang dapat penulis simpulkan adalah:
1.      Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsa­fat, karena karyanya al-Hawi.
2.      Perhatian utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa.
3.      Konsepsi filsafatnya yang paling menonjol, dan karena-nya menjadi ajaran pokok, adalah prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membe­dakannya dari konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya berte­mu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik.
4.      Sementara konsepnya tentang moral terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara membunuhnya.
5.      Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berin­tikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis.
6.      Keseluruhan konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihat­kan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.





DAFTAR  PUSTAKA

Harun Nasution, (2006),  Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
-----------------, (2008),  Islam Rasional, Jakarta:  Mizan.
Hasyim Syah Nasution, (2005), Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mustofa Ahmad, (2007), Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Sirajudin Zar, (2004), Filsafat Islam. (Filosof Dan Filsafatnya), Padang: Fajar.


 


[2]Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 310.
[3]Ibid.
[4]Mustofa Ahmad, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 131.
[5]Ibid., hal. 132-133.
[6]Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta:  Mizan, 2008), hlm. 49-50.
[8]Ibid.
[9]Sirajudin Zar, Filsafat Islam. (Filosof Dan Filsafatnya), (Padang: Fajar, 2004), hal. 125-126.
[10]Ibid.
[11]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006), hal. 61-63.
[12]Ibid., hal. 65-68.
[14]Ibid.

PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG KENABIAN DAN POLITIK


PEMIKIRAN AL-FARABI
TENTANG KENABIAN DAN POLITIK

A.     Biografi Al-Farabi
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی  atau Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh al-Farabi), juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir adalah seorang filsuf Islam yang menjadi salah satu ilmuwan dan filsuf terbaik di zamannya. Ia berasal dari Farab, Kazakhstan. Sampai umur 50, ia tetap tinggal di Kazakhstan. Tetapi kemudian ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. Lalu ia pergi ke Alepo (Halib), Suriah untuk mengabdi kepada sang raja di sana.[1]
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat pendidikan awal, Al_farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa kekhalifahan Al-Muta'did (892-902M), Al-farabi dan Yhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan Al-farabi unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada kekahlifahan Al-Muktafi (902-908M) dan awal kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932M) Al-farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama dealapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.[2]
Al-Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.[3]

B.     Karya-Karya Al-Farabi
Karya-karya nyata dari Al-Farabiadalah :
1.      Al Jami’u Baina Ra’ya Al Hakimain Al falatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan atau penggabungan pandapat antara Plato dan Aristoteles).
2.      Tahsilu as Sa’adah ( mencari kebahagian).
3.      As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan).
4.      Fususu Al Taram (hakekat kebenaran).
5.      Arroo’u Ahli Al Madinah Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan).
6.      As Syiyasyah (ilmu politik).
7.      Fi Ma’ani Al Aqli.
8.      Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu).
9.      At Tangibu ala As Sa’adah.
10.  Isabetu Al Mufaraqaat.[4]

C.     Pemikiran Al-Farab tentang Kenabian
1.      Teori mimpi menurut Aristoteles dan pengaruhnya di dalam teori kenabian al-Farabi
Mimpi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Meski mimpi termasuk pengalaman pribadi, namun merupakan fenomena universal yang memainkan peranan penting dalam pembentukan kebudayaan manusia. Mimpi merupakan suatu hal yang tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Baik manusia dalam bentuk kecil (anak-anak) atau dewasa, pejabat atau rakyat jelata, semuanya pernah mengalami mimpi. Karena mimpi tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka ia mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan ini. Ada pengaruh positif,namun juga tidak sedikit pengaruh negatifnya. Sepanjang catatan sejarah kebudayaan manusia, mimpi dan penafsirannya telah mengilhami orang-orang suci dan para Nabi, penyair serta raja-raja, maupun para filsuf dan psikolog.
Dalam perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi oleh satu kelompok ataupun satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya filsafat, psikologi, agama, dan lain-lain. Hal ini menandakan bahwa tema mimpi memang merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk dijadikan bahan kajian. Karena tentunya, banyak orang dengan segala jenis kelompok usia dan golongan lapisan sosialnya hingga saat ini masih mengalami mimpi.[5]
Aristoteles berpendapat bahwa proses inderawi menimbulkan berbagai pengaruh yang tetap bertahan pada alat indera eksternal. Lalu, pengaruh itu pindah ke pusat indera bagian dalam yang terletak di hati dengan perantara darah, sehingga menyebabkan terjadinya fantasi dan mimpi.[6] tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa depan.
Pendapat Al Farabi berbeda dengan pendapat Aristoteles dan menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, tapi hal ini hanya bagi pribadi-pribadi pilihan. Intelegensi agen adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan. Hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran islam. Kemampuan berhubungan dengan intelengensi agen terdapat pada nabi dan filosof, kalau nabi dengan imajinasinya sedang filosof dengan spekulasi dan perenungan. Dapat dimengerti bahwa keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan dari atas.[7]
Selain wahyu, impian juga merupakan alat perhubungan dengan Tuhan , karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan disana ia melihat rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat impian-impian, sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Begitu penting kedudukan impian, sehingga ada surat di dalam al-Qur’an dimana seluruh pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu surat Yusuf. Nabi Muhammad saw juga mengatakan tentang impian, impian yang benar merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian.[8]
Persoalaan kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutannya bisa ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur atau pada waktu jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama, walaupun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula menerangkan yang lain.
Al-Farabi menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas perbuatan-perbuatan diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi suatu potensi kreatif yang mampu menciptakan, mewujudkan, serta mengilustrasikan dan membentuk.  Imajinasi mempunyai  kemampuan besar untuk menirukan dan daya mempengaruhi, maka semua kondisi anggota tubuh, psikologis, bahkan penyerapan dari orang yang sedang tidur mempunyai pengaruh yang jelas di dalam imajinasinya kemudian di dalam pembentukan mimpinya. Antara yang satu dengan yang lain mimpi tidak berbeda kecuali  karena perbedaan faktor-faktor  yang mempengaruhinya. Mimpi sedang berenang, misalnya, maka sekejab hubungan kita dengan air itu basah.[9]
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi menempati posisi penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecendrungan-kecendrungan dan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan merupakan sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia dapat membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar dikala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaannya haya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.[10]
2.      Manfaat teori ini terhadap Nabi dan Filosof
Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian muncullah al-Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampi tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak pada waktu membicarakan negeri utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al-aql al-fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.[11]
Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu : jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan), atau dengan perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah barang tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al fa’āl. Melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Hakikat kenabian dan hakikat filosofis, sama-sama sebagai satu dari sekian konklusi wahyu dan sebagai satu dari sekian pengaruh pancaran ilahi kepada manusia melalui jalur imajinasi atau analisa. Hanya saja al-Farabi membedakan antara seorang nabi dengan seorang filosof dalam buku Aro’ ahl al Madinah al-Fadlilah dilihat dari segi saran-sarana yang dipergunakan untuk mencapai pengetahuan, maka di tempat lain ia menetapkan bahwa nabi – seperti filosof – dimungkinkan mikraj kea lam-alam atas dengan perantara akal. Karena ia memiliki potensi fikiran yang suci yang dimungkinkan untuk naik ke alam cahaya dimana ia menerima perintah-perintah Tuhan, sebab nabi mencapai wahyu tidak hanya melalui jalur imajinasi semata, tapi juga dengan potensi akal yang besar yang ada pada dirinya.[12]
3.      Kenabian adalah Fitri bukan Muktasabah
Dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang yang di anugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan dan di beri kemampuan untuk menyatakan kehendaknya. Adalah sangat perlu bagi filosof-folosof muslim memberikan penghormatan kepada kenabian, merujukkan rasionalitas dengan tradisionalisme, dan mewarnai bahasa-bahasa bumi dengan firman Tuhan. Hal ini telah di upayakan oleh al Farabi. Teorinya tentang kenabian dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan agama dan filsafat.
Jika nabi mampu untuk berhubungan dengan akal faal melalui perantaraan penalaran dan analisa, maka kenabian menjadi bentuk pengetahuan yang juga bisa dicapai oleh manusia. Karena dengan pengaruh akal faal kita mengkaji, berfikir dan mempersepsi realitas-realitas yang umum. Tetapi dengan graduasi pengaruh akal faal di dalam diri kita, maka tingkatan kita berbeda-beda yang satu melebihi yang lain.[13]
Kenabian bersifat pembawaan (fitri) bukan merupakan hasil pencarian(muktasabah). Semua usaha yang ada pada kasab (pencarian), semakin menambah nabi menjadi sempurna dan meningkat. Jika seseorang bisa meraih hubungan dengan alam atas, maka sempurnalah di atas tangannya segala mu’jizat dan karomah sebagai kelebihan yang menyalahi kebiasaan. Persoalan ini, walaupun rahasianya tidak diketahui, bisa diketahui melalui jalur psikologis-spiritual.
4.      Pertentangan teori ini dengan arti lahir teks-teks al-Qur’an
Al Farabi melakukan penafsiran yang berbeda, ia mengakui keabsahan keajaiban, karena hal itu merupakan alat untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat meskipun keajaiban bersifat alami, tidak bertentangan dengan hukum alam. Karena sumber hukum ini terdapat pada lingkungan dan intelegensi yang mengatur dunia bumi; dan ketika kita berhubungan dengan dunia itu, maka kejadian-kejadian yang tak biasa akan terjadi pada kebanyakan orang.
Kontradiksi itu ialah pertentangan bahwa penfsiran wahyu dan ilham secara psikologis bertentangan dengan banyak nash yang tetap. Pernah terjadi bahwa malaikat Jibril turun kepada Rasulallah saw untuk sebagian orang arab, atau beliau mendengar suara laksana gemercing suara bel, disamping banyak hadist lain yang berhubungan dengan wahyu dan car-cara datangnya. Kami tidak beranggapan bahwa hadits tersebut tidak diketahui oleh al-Farabi. Namun al-Farabi sibuk bergelut dengan masalah lain, al-Farabi berusaha secara primer dan secara esensial untuk menetapkan bahwa wahyu adalah perkara yang mungkin dan tidak keluar dari prinsip-prinsip ilmiah yang diakui. Sehingga hubungan ruhani dengan jasmani yang dijauhi oleh sho’ibah dan golongan lain bisa diterima.
Al-Farabi tidak melihat suatu keharusan untuk membela prinsip kenabian dari prinsip itu sendiri, dengan cara menjelaskan terpisah dari manapun atau tempat tertentu. Tidak sulit al-Farabi untuk mengeksplanasikan teks-teks agama yang bertentangan dengan pandangan-pandangannya. Karena al-Farabi telah melakukan eksplanasi tidak hanya sekali, sehingga ia bisa menerima adanya lauh dan qolam,hal itu ia tafsirkan dalam bentuk interpretasi yang sesuai dengan teori-teori astronomi dan metefisika yang dipegangnya.[14]

D.    Pemikiran Al-Farabi tentang Politik
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara.[15] Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara.[16] Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.[17]
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar. [18]
Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka.[19]
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga klasifikasi utama:
-         Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
-         Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
-         Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.[20]
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna didalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi, namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[21]




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Musthofa, (2007), Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Eduarny Tarmiji, (2008),  Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama, Thesis Magister, Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Fareed, 2009, Memaknai Kenabian Bersama Al Farabi, http://dunia.pelajar-islam.or.id diakses tanggal 31 Maret 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi, diakses tanggal 1 April 2011.
H.A. Mustofa,   (2007), Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Ibrahim Madkour, (1988),  Filsafat Islam Metode dan Penerapan, Jakarta: Rajawali Press.
Majid Fahkry ,Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2001
M Rasyidi,  (1984), Apa itu Syiah?, Jakarta: Pelita.
Muhammad Nur, (2004),  Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G. Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
Muhammad ‘Utsman Najati, (2002),  Jiwa Dalam Pandangan Parra Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah.
M. M. Syarif,  (1996), Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan.



[1]Majid Fahkry ,Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 218.
[3]Ibid.
[4]Ahmad Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hal. 128.
[5]Muhammad Nur, Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G. Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
[6]Muhammad ‘Utsman Najati,  Jiwa Dalam Pandangan Parra Filosof Muslim, (Bandung : Pustaka Hidayah,  2002),  hal. 80
[7]M. M. Syarif,  Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 77.
[8]H.A. Mustofa,   Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),  hal. 137.
[9]Ibid., hal. 142.
[10]MM Syarif, Op.Cit., hal. 75.
[11]Fareed, 2009, Memaknai Kenabian Bersama Al Farabi, http://dunia.pelajar-islam.or.id diakses tanggal 31 Maret 2011.
[12]Ibrahim Madkour,  Filsafat Islam Metode dan Penerapan, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hal. 131.
[13]Ibid., hal. 135.
[14]Ibid., hal. 135-136.
[15]Eduarny Tarmiji, Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama, Thesis Magister, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2008), hal. 13.
[16]Ibid.
[17]Ibid., hal. 15.
[18].M Rasyidi,  Apa itu Syiah? (Jakarta: Pelita, 1984), hal.  6-7.
[19]Eduarny Tarmiji, op.cit., hal. 18.
[20]Ibid., hal. 19.
[21]http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi, diakses tanggal 1 April 2011.