PEMIKIRAN
AL-FARABI
TENTANG
KENABIAN DAN POLITIK
A.
Biografi Al-Farabi
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950,
Bahasa Persia: محمد فارابی atau
Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin
Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh al-Farabi), juga dikenal di dunia barat
sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir adalah seorang filsuf
Islam yang menjadi salah satu ilmuwan dan filsuf terbaik di zamannya. Ia
berasal dari Farab, Kazakhstan. Sampai umur 50, ia
tetap tinggal di Kazakhstan.
Tetapi kemudian ia pergi ke Baghdad untuk
menuntut ilmu di sana
selama 20 tahun. Lalu ia pergi ke Alepo (Halib), Suriah untuk mengabdi
kepada sang raja di sana.[1]
Al-Farabi adalah seorang
komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun
kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf
Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di
berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik.
Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting
dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan
bebagai alat musik.
Al-Farabi muda belajar
ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara.
Setelah mendapat pendidikan awal, Al_farabi belajar logika kepada orang Kristen
Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa
kekhalifahan Al-Muta'did (892-902M), Al-farabi dan Yhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan Al-farabi
unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak memberi sumbangsihnya
dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada kekahlifahan Al-Muktafi
(902-908M) dan awal kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932M) Al-farabi dan Ibn
Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel
dan tinggal di sana
selama dealapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.[2]
Al-Farabi dikenal sebagai
"guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama
yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan
filsafat politik Yunani klasik dengan islam serta berupaya membuatnya bisa
dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal
adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang
pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang
paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat
politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah
dalam Syi'ah.[3]
B.
Karya-Karya Al-Farabi
Karya-karya nyata dari
Al-Farabiadalah :
1.
Al Jami’u Baina Ra’ya Al Hakimain Al falatoni Al
Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan atau penggabungan pandapat antara Plato
dan Aristoteles).
2.
Tahsilu as Sa’adah ( mencari kebahagian).
3.
As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan).
4.
Fususu Al Taram (hakekat kebenaran).
5.
Arroo’u Ahli Al Madinah Al Fadilah
(pemikiran-pemikiran utama pemerintahan).
6.
As Syiyasyah (ilmu politik).
7.
Fi Ma’ani Al Aqli.
8.
Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu).
9.
At Tangibu ala As Sa’adah.
10. Isabetu
Al Mufaraqaat.[4]
C.
Pemikiran Al-Farab tentang Kenabian
1.
Teori mimpi menurut Aristoteles dan pengaruhnya
di dalam teori kenabian al-Farabi
Mimpi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Meski mimpi
termasuk pengalaman pribadi, namun merupakan fenomena universal yang memainkan
peranan penting dalam pembentukan kebudayaan manusia. Mimpi merupakan suatu hal
yang tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Baik manusia dalam bentuk
kecil (anak-anak) atau dewasa, pejabat atau rakyat jelata, semuanya pernah
mengalami mimpi. Karena mimpi tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka ia
mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan ini. Ada pengaruh positif,namun juga tidak sedikit
pengaruh negatifnya. Sepanjang catatan sejarah kebudayaan manusia, mimpi dan
penafsirannya telah mengilhami orang-orang suci dan para Nabi, penyair serta
raja-raja, maupun para filsuf dan psikolog.
Dalam perjalanannya, pembahasan mimpi tidaklah didominasi
oleh satu kelompok ataupun satu bidang disiplin ilmu saja. Tetapi meluas ke
berbagai bidang disiplin ilmu, misalnya filsafat, psikologi, agama, dan
lain-lain. Hal ini menandakan bahwa tema mimpi memang merupakan tema yang
menarik dan selalu aktual untuk dijadikan bahan kajian. Karena tentunya, banyak
orang dengan segala jenis kelompok usia dan golongan lapisan sosialnya hingga
saat ini masih mengalami mimpi.[5]
Aristoteles berpendapat bahwa proses inderawi menimbulkan
berbagai pengaruh yang tetap bertahan pada alat indera eksternal. Lalu,
pengaruh itu pindah ke pusat indera bagian dalam yang terletak di hati dengan
perantara darah, sehingga menyebabkan terjadinya fantasi dan mimpi.[6]
tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari tuhan, dan menolak
peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak
demikian, maka massa
yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa depan.
Pendapat Al Farabi berbeda dengan pendapat Aristoteles dan
menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi
agen, tapi hal ini hanya bagi pribadi-pribadi pilihan. Intelegensi agen adalah
sumber hukum dan inspirasi ketuhanan. Hal itu serupa dengan malaikat yang
diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran islam. Kemampuan
berhubungan dengan intelengensi agen terdapat pada nabi dan filosof, kalau nabi
dengan imajinasinya sedang filosof dengan spekulasi dan perenungan. Dapat
dimengerti bahwa keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh
pengetahuan dari atas.[7]
Selain wahyu, impian juga merupakan alat perhubungan dengan
Tuhan , karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan
disana ia melihat rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat
impian-impian, sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Begitu penting kedudukan impian, sehingga ada surat
di dalam al-Qur’an dimana seluruh pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu
surat Yusuf.
Nabi Muhammad saw juga mengatakan tentang impian, impian yang benar
merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian.[8]
Persoalaan kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh
imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini
bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutannya bisa
ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalanya
terjadi pada waktu tidur atau pada waktu jaga, atau dengan perkataan lain,
dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini
bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai
esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah salah satu cabang
kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama, walaupun
berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat
pula menerangkan yang lain.
Al-Farabi menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas
perbuatan-perbuatan diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan
sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru
atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya
dalam berbagai bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian
penyerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan
persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi suatu potensi kreatif yang mampu
menciptakan, mewujudkan, serta mengilustrasikan dan membentuk. Imajinasi mempunyai kemampuan besar untuk menirukan dan daya
mempengaruhi, maka semua kondisi anggota tubuh, psikologis, bahkan penyerapan
dari orang yang sedang tidur mempunyai pengaruh yang jelas di dalam
imajinasinya kemudian di dalam pembentukan mimpinya. Antara yang satu dengan
yang lain mimpi tidak berbeda kecuali
karena perbedaan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Mimpi sedang berenang, misalnya, maka sekejab hubungan
kita dengan air itu basah.[9]
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi
sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang
mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi menempati posisi penting dalam
psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecendrungan-kecendrungan dan
perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakan-tindakan rasional dan
gerakan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran
mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan merupakan
sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah,
maka ia dapat membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi,
karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar dikala tidur atau wahyu
dikala jaga. Perbedaannya haya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi
yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.[10]
2.
Manfaat teori ini terhadap Nabi dan Filosof
Dalam suasana
penuh perdebatan tentang kenabian muncullah al-Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia hidup
semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil
penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi
filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang
membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain
hampi tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting
dalam filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat hubungannya
dengan lapangan-lapangan akhlak pada waktu membicarakan negeri utama dari
al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al-aql al-fa’āl,
meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.[11]
Hubungan tersebut
bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu : jalan fikiran dan jalan imajinasi
penghayalan), atau dengan perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi
(ilham). Sudah barang tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al
aql al fa’āl. Melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat
menembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan
melalui renungan-renungan fikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat
mengalahkan hubungan tersebut dan orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh
al-Farabi untuk mengurusi negeri utama yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi
di samping melalui pemikiran hubungan dengan al aql al fa’āl bisa
terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua
ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan
pengaruh imajinasi tersebut.
Hakikat kenabian
dan hakikat filosofis, sama-sama sebagai satu dari sekian konklusi wahyu dan
sebagai satu dari sekian pengaruh pancaran ilahi kepada manusia melalui jalur
imajinasi atau analisa. Hanya saja al-Farabi membedakan antara seorang
nabi dengan seorang filosof dalam buku Aro’ ahl al Madinah al-Fadlilah
dilihat dari segi saran-sarana yang dipergunakan untuk mencapai pengetahuan,
maka di tempat lain ia menetapkan bahwa nabi – seperti filosof – dimungkinkan
mikraj kea lam-alam atas dengan perantara akal. Karena ia memiliki potensi
fikiran yang suci yang dimungkinkan untuk naik ke alam cahaya dimana ia
menerima perintah-perintah Tuhan, sebab nabi mencapai wahyu tidak hanya melalui
jalur imajinasi semata, tapi juga dengan potensi akal yang besar yang ada pada
dirinya.[12]
3.
Kenabian adalah Fitri bukan Muktasabah
Dasar setiap agama
langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang yang di
anugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan dan di beri
kemampuan untuk menyatakan kehendaknya. Adalah sangat perlu bagi
filosof-folosof muslim memberikan penghormatan kepada kenabian, merujukkan
rasionalitas dengan tradisionalisme, dan mewarnai bahasa-bahasa bumi dengan
firman Tuhan. Hal ini telah di upayakan oleh al Farabi. Teorinya tentang
kenabian dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan
agama dan filsafat.
Jika nabi mampu
untuk berhubungan dengan akal faal melalui perantaraan penalaran dan
analisa, maka kenabian menjadi bentuk pengetahuan yang juga bisa dicapai oleh
manusia. Karena dengan pengaruh akal faal kita mengkaji, berfikir
dan mempersepsi realitas-realitas yang umum. Tetapi dengan graduasi pengaruh akal
faal di dalam diri kita, maka tingkatan kita berbeda-beda yang satu
melebihi yang lain.[13]
Kenabian bersifat pembawaan (fitri) bukan merupakan
hasil pencarian(muktasabah). Semua usaha yang ada pada kasab
(pencarian), semakin menambah nabi menjadi sempurna dan meningkat. Jika
seseorang bisa meraih hubungan dengan alam atas, maka sempurnalah di
atas tangannya segala mu’jizat dan karomah sebagai kelebihan yang menyalahi
kebiasaan. Persoalan ini, walaupun rahasianya tidak diketahui, bisa diketahui
melalui jalur psikologis-spiritual.
4.
Pertentangan teori ini dengan arti lahir
teks-teks al-Qur’an
Al Farabi
melakukan penafsiran yang berbeda, ia mengakui keabsahan keajaiban, karena hal
itu merupakan alat untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat meskipun
keajaiban bersifat alami, tidak bertentangan dengan hukum alam. Karena sumber
hukum ini terdapat pada lingkungan dan intelegensi yang mengatur dunia bumi;
dan ketika kita berhubungan dengan dunia itu, maka kejadian-kejadian yang tak
biasa akan terjadi pada kebanyakan orang.
Kontradiksi itu ialah pertentangan bahwa penfsiran wahyu dan
ilham secara psikologis bertentangan dengan banyak nash yang tetap. Pernah
terjadi bahwa malaikat Jibril turun kepada Rasulallah saw untuk sebagian orang
arab, atau beliau mendengar suara laksana gemercing suara bel, disamping banyak
hadist lain yang berhubungan dengan wahyu dan car-cara datangnya. Kami tidak
beranggapan bahwa hadits tersebut tidak diketahui oleh al-Farabi. Namun
al-Farabi sibuk bergelut dengan masalah lain, al-Farabi berusaha secara primer
dan secara esensial untuk menetapkan bahwa wahyu adalah perkara yang mungkin
dan tidak keluar dari prinsip-prinsip ilmiah yang diakui. Sehingga hubungan
ruhani dengan jasmani yang dijauhi oleh sho’ibah dan golongan lain bisa
diterima.
Al-Farabi tidak melihat suatu keharusan untuk membela prinsip
kenabian dari prinsip itu sendiri, dengan cara menjelaskan terpisah dari
manapun atau tempat tertentu. Tidak sulit al-Farabi untuk mengeksplanasikan
teks-teks agama yang bertentangan dengan pandangan-pandangannya. Karena
al-Farabi telah melakukan eksplanasi tidak hanya sekali, sehingga ia bisa
menerima adanya lauh dan qolam,hal itu ia tafsirkan dalam bentuk
interpretasi yang sesuai dengan teori-teori astronomi dan metefisika yang
dipegangnya.[14]
D.
Pemikiran Al-Farabi tentang Politik
Menurut
Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang
merupakan salah satu syarat terbentuknya negara.[15]
Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan
orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi).
Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara.[16]
Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang,
pangan, papan,
dan keamanan,
serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan
bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan
untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara
Utama.[17]
Menurutnya,
warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti
dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi)
yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar. [18]
Keberadaan
warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak
serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara
ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling
unggul dan paling sempurna diantara mereka.[19]
Negara
Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara
alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan
sempurna. Ada tiga klasifikasi utama:
-
Pertama, jantung.
Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak
diatur oleh organ lainnya.
-
Kedua, otak. Bagian
peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga
mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga,
seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
-
Organ bagian ketiga.
Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian
atasnya.[20]
Dengan
prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting
dan paling sempurna didalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah
seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang
mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas
dan spiritualitas).
Disebutkan
adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala
kesempurnaannya (Imam)
dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua
atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is)
atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun
kualitas lainnya sudah terpenuhi, namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu
pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”.
Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[21]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Musthofa, (2007), Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Eduarny
Tarmiji, (2008), Konsep Al-Farabi
tentang Negara Utama, Thesis Magister, Jakarta: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Fareed,
2009, Memaknai
Kenabian Bersama Al Farabi, http://dunia.pelajar-islam.or.id
diakses tanggal 31 Maret 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi, diakses tanggal 1 April 2011.
http://moslemtechnology.blogspot.com/2009/02/abu-nasir-muhammad-bin-al-farakh-al.html,
diakses tanggal 2 April
2011.
H.A.
Mustofa, (2007), Filsafat Islam,
Bandung: Pustaka Setia.
Ibrahim
Madkour, (1988), Filsafat Islam
Metode dan Penerapan, Jakarta: Rajawali Press.
Majid Fahkry ,Sejarah Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2001
M Rasyidi,
(1984), Apa itu Syiah?, Jakarta: Pelita.
Muhammad
Nur, (2004), Metafisika Mimpi,Telaah
Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G. Jung (1875-1961), Jurnal Filsafat,
Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
Muhammad
‘Utsman Najati, (2002), Jiwa Dalam
Pandangan Parra Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah.
M.
M. Syarif, (1996), Para Filosof
Muslim, Bandung: Mizan.
[1]Majid Fahkry
,Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 218.
[2]http://moslemtechnology.blogspot.com/2009/02/abu-nasir-muhammad-bin-al-farakh-al.html,
diakses tanggal 2 April 2011.
[3]Ibid.
[4]Ahmad
Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007),
hal. 128.
[5]Muhammad
Nur, Metafisika Mimpi,Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi C.G. Jung
(1875-1961), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
[6]Muhammad
‘Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan
Parra Filosof Muslim, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002),
hal. 80
[7]M.
M. Syarif, Para Filosof Muslim,
(Bandung: Mizan, 1996), hal. 77.
[8]H.A.
Mustofa, Filsafat Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal.
137.
[9]Ibid.,
hal. 142.
[10]MM
Syarif, Op.Cit., hal. 75.
[11]Fareed,
2009, Memaknai
Kenabian Bersama Al Farabi, http://dunia.pelajar-islam.or.id
diakses tanggal 31 Maret 2011.
[12]Ibrahim
Madkour, Filsafat Islam Metode dan
Penerapan, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hal. 131.
[13]Ibid.,
hal. 135.
[14]Ibid.,
hal. 135-136.
[15]Eduarny
Tarmiji, Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama, Thesis Magister,
(Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2008), hal. 13.
[16]Ibid.
[17]Ibid.,
hal. 15.
[18].M
Rasyidi, Apa itu Syiah? (Jakarta:
Pelita, 1984), hal. 6-7.
[19]Eduarny
Tarmiji, op.cit., hal. 18.
[20]Ibid.,
hal. 19.
[21]http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi,
diakses tanggal 1 April 2011.
Terima kasih atas maklumat yang begitu bermakna ni. Saya menggunakan maklumat yg tuan kongsikan ini utk menyiapkan assignment saya. Saya bermohon agar tuan halalkan ilmu yang tuan published kan ini. Sekian, terima kasih.
BalasHapus